Yogyakarta, 4 Mei 2025 – Dalam enam bulan pertama masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, publik disuguhi gaya komunikasi yang lugas, nasionalistik, dan tak jarang emosional. Namun, apakah gaya ini selaras dengan arah kebijakan dan konsistensi pemerintahan yang dijanjikan? Pertanyaan inilah yang coba dijawab oleh Losta Institute melalui studi terbarunya.
Penelitian berjudul “Ketika Retorika Bertemu Realita” itu dirilis di Yogyakarta, dan dipaparkan langsung oleh Direktur Strategi Losta Institute, Wahyu Sumprabowo Hardi. Studi ini mengkaji kepemimpinan Prabowo dalam 180 hari pertamanya memimpin Indonesia, dengan pendekatan kualitatif deskriptif-analitis yang menyoroti tidak hanya konten pidato dan pernyataan publik, tapi juga implementasi kebijakan di lapangan.
“Presiden Prabowo menampilkan persona politik yang berbeda dari para pendahulunya. Ia tampil otentik, berbicara langsung pada publik, dan kerap menyinggung harga diri bangsa. Tapi tantangannya terletak pada bagaimana gaya ini diterjemahkan ke dalam sistem dan kebijakan negara,” ujar Wahyu.
Tiga Pilar Temuan Utama:
- Komunikasi Populis-Patriotik
- Studi ini menyimpulkan bahwa gaya bicara Prabowo menyasar emosi rakyat kecil. Ia tampil sebagai patriot, bahkan kadang bersifat teatrikal. Namun gaya ini menjadi dua sisi mata uang: memikat kalangan akar rumput namun menimbulkan skeptisisme di kalangan akademisi dan masyarakat sipil.
- Kebijakan: Antara Janji dan Implementasi
- Program unggulan seperti makan siang gratis dan hilirisasi SDA dinilai konsisten dengan narasi kampanye. Namun kritik muncul pada isu lingkungan, HAM, dan transparansi politik yang dinilai masih lemah dan minim pembenahan.
- Kondisi Politik: Stabilitas Semu?
- Dengan dominasi kekuasaan dan lemahnya oposisi, pemerintahan Prabowo dinilai stabil secara politik. Namun ketegangan mulai terasa dari kalangan masyarakat sipil yang merasa ruang kritik menyempit. Ketergantungan pada loyalitas menteri dan struktur koalisi besar juga dinilai sebagai risiko politik jangka menengah.
Tantangan Mendatang: Oposisi Sipil dan Kredibilitas Etis
Wahyu menekankan bahwa keotentikan Prabowo bisa menjadi kekuatan politik besar—selama diiringi konsistensi etik dan sistem. “Jika spontanitas Prabowo tidak dibarengi penguatan etika birokrasi dan transparansi, maka bukan tak mungkin muncul gelombang kekecewaan dalam dua tahun ke depan,” ujarnya.
Losta Institute menutup laporan ini dengan catatan bahwa masa depan politik Prabowo akan sangat ditentukan oleh kemampuannya menjaga keselarasan antara gaya komunikasi, substansi kebijakan, dan kredibilitas moral pemerintahannya.